Tradisi Lisan Dan Macam Macamnya

Oleh: Edy Saputra           

  

Warisan lisan atau tradisi lisan merupakan sumber tradisional sejarah dalam pengertian luas. Sejarah dari sumber sejarah ini telah tua sekali, yaitu waktu fikiran manusia mulai tumbuh, waktu kebudayaan mulai lahir dan serempak dengan itu bahasa mulai di ucapkan. Dalam pengertian sejarah tradisi lisan ini memainkan peranan penting  bagi bangsa prasejarah dan bangsa bangsa yg kebudayaannya masih sederhana yang hidup dalam kurun sejarah umat manusia. Bagi bangsa bangsa yang kebudayaannya telah memakai tulisan, warisan atau tradisi lisan sudah terbatas sekali fungsinya. Peristiwa peristiwa yang dialami oleh orang orang yang sezaman dengan kita atau paling banyak satu angkatan terdahulu dari kita, masih dapat sampai kepada kita dengan perantaraan saluran lisan. 
   Saluran lisan bukan saja sumber bahan bahan sejarah, tetapi juga cara mewariskan sejarah yang disampaikan dari mulut ke mulut. Waktu warisan dari tradisi lisan itu diterapkan menjadi tulisan kemungkinan perubahan sudah menjadi terbatas. Dalam kebudayaan lama kemungkinan perubahan itu disalin kembali, baik dalam rangka memperbanyaknya atau memperbaharui naskah yang usang. Waktu itu dapat kejadian seperti waktu menceritakannya secara lisan. Dalam kebudayaan modern dengan penerbitan dan percetakannnya yang seksama dan dalam jumlah banyak sekaligus, perubahan itu tidak ada lagi, selain dari bentuk salah cetak atau yang semacam itu. Dalam penulisan sejarah metode ilmiah, tradisi lisan masih tetap dapat dipakai sebagai bahan bahan pelengkap, bahan bahan perbandingan, atau bahan bahan darimana ditarik kesimpulan tentang hal hal yang telah berlalu.

A. Beda Tradisi Lisan Dan Sejarah Lisan
    Jan Vansina memberi batasan tradisi lisan (oral tradition) sebagai oral testimony transmitted verbally, from generation to the next one on more. Dalam tradisi lisan tidak termasuk kesaksian mata yang merupakan data lisan. Juga disini tidak termasuk rerasan masyarakat yang meskipun lisan tetapi tidak ditularkan dari satu generasi ke generasi yang lain Tradisi Lisan dengan demikian terbatas di dalam kebudayaan lisan dari masyarakat yang belum mengenal tulisan. Sama seperti dokumen, dalam masyarakat yang sudah mengenal tulisan, tradisi lisan merupakan sumber sejarah yang merekam masa lampau. Namun kesejarahan tradisi lisan barulah sebagian dari isi tradisi lisan itu. Selain itu mengandung kejadian nilai nilai moral, keagamaan, adat istiadat, cerita cerita khayali, peribahasa, nyanyian, dan Mantra.
   Tradisi lisan, dengan demikian menjadi sumber penulisan bagi antropolog dan sejarawan. Dalam ilmu antropologi tradisi lisan sebagi sumber data bagi penelitian sudah dipergunakan sejak awal timbulnya ilmu itu, tetapi dalam sejarah penggunaan tradisi lisan masih merupakan hal yang baru. Usaha untuk menarik minat kepada penulisan sejarah dengan memakai sumber tradisi lisan dalam Seminar Sejarah Nasional lll digarap secara khusus dalam panel etno-history.
   Berbeda dengan tradisi lisan, Sejarah lisan tidak didapatkan tetapi dicari dengan kesengajaan. Penggalian sumber sejarah melalui teknik wawancara sudah lama dikenal. Bahkan Herodotus pada abad ke-5 SM telah menggunakan saksi saksi mata dengan menanya silang mereka. Sejarah lisan sebagai teknik dan metode kemudian, juga digunakan oleh penulis penulis sejarah dari zaman romawi, zaman pertengahan, dan zaman modern. Pada pertengahan pertama abad ke-19 sejarah lisan mendapat kritikan tajam dari Leopold Von Ranke yang mementingkan kesaksian kesaksian dokumenter. Meskipun demikian penggunaan sejarah lisan masih terus berjalan Dalam abad ke -20 ini.
B. Macam Dan Bentuk Tradisi Lisan
   Jan Vansina mengategorikan tradisi lisan ke dalam lima jenis yaitu formula, puisi, daftar kata, cerita, dan komentar ( Hutomo, 1991: 12-13). Diantara lima jenis tersebut, hanya puisi dan cerita yang mengandung unsur kesejarahan.
 1. Formula
 Formula mengandung unsur kesejarahan yang sempit, yaitu unsur gelaran, seperti julukan raden, raden mas, raden ngabehi, dll. Pada masyarakat Jawa. 
 2. Puisi
  Puisi yang berposisi resmi dan milik umum menggambarkan unsur kesejarahan, pujian, kepercayaan, dan tokoh. Puisi sebagai milik resmi pihak yang berkuasa dan rakyat, mengandung unsur kepercayaan dan legitimasi bagi tokoh. Begitu pula, cerita juga menggambarkan sejarah yang bersifat umum, lokal, unsur kekerabatan, mitos, dan ingatan perseorangan. Puisi mungkin setara dengan teks tembang macapat, sedangkan cerita tidak lebih seperti ganjaran (prosa). Baik puisi maupun prosa berisikan unsur kesejarahan yang paling penting dalam tradisi lisan.
 3. Daftar Kata
 Daftar kata juga memuat unsur kesejarahan dalam bentuk nama tempat (toponim) dan nama perseorangan. sering dihubungkan dengan asal usul nama suatu tempat. Pada intinya toponim juga masuk kategori legenda, seperti nama nama perseorangan yang dipakai pada masa tertentu, misalnya pemakaian nama nama binatang untuk manusia. Atau, ada trend pada periode tertentu nama nama tertentu dipakai oleh banyak orang sehingga ada joke, misalnya, semua orang Aceh memakai nama Ibrahim atau orang Sumbawa memakai nama Syamsudin.
 4. Cerita
   a. Legenda
 Legenda merupakan cerita rakyat yang diceritakan turun temurun dari generasi ke generasi. Legenda selain mengandung unsur kesejarahan, legitimasi dan kepercayaan juga mendeskripsikan legenda umum, legenda lokal, mitos, ingatan perseorangan, dan nama tokoh kekerabatan. Legenda umum dikenal dalam wilayah yang lebih luas, misalnya, jawa. Legenda lokal hanya menyangkut ruang yang lebih sempit, misalnya, Banyumas, Kedu, atau Bagelan.
   Legenda dalam perkembangan selanjutnya dicatat oleh orang orang pintar setempat, sehingga lahirlah karya babad-babad lokal. Pencatatan tersebut biasanya disajikan dalam bentuk prosa yang singkat. Jika babad itu dipandang memiliki fungsi yang penting oleh masyarakatnya, maka babad itu ditulis lebih sempurna agar mengisyaratkan legitimasi terhadap penguasa lokal. Pada tataran tertentu ditempuh proses penghapusan bahasa dengan gaya bahasa yang lebih kuno.
 Lalu, seorang pujangga lokal berusaha mentransformasikan teks dari prosa (gancaran) menjadi puisi (tembang macapat).Teks macapat merupakan puncak dari karya babad yang dimulai dari tradisi lisan, khususnya legenda. Karya babad yang ditulis di istana bupati setempat biasanya mengklaim sebagai babad yang dikategorikan sebagai tradisi besar karena ditulis di pusat kekuasaan, sedangkan legenda legenda yang masih lisan di pedesaan dianggap sebagai tradisi kecil. Posisi ini juga bisa dibandingkan antara lokal dan pusat kerajaan. 
    Karya babad yang ditulis di keraton sering disebut tradisi besar, sedangkan legenda legenda lokal atau pedesaan dikenal sebagai tradisi kecil.Babad pasir, misalnya, dipandang sebagai cerita tutur jawa tentang sejarah Lembah Serayu-Atas di Banyumas. Teks yang berwujud legenda tanpa keterangan angka tahun peristiwa (de Grand & Pigeaud, 1985: 64; de Graaf, 1985: 73-74).
    b. Mitos
   Mitos adalah narasi yang sering dianggap sebagai sejarah suci karena tokoh-tokohnya yang ditampilkan adalah tokoh-tokoh ssupranatural atau tokoh manusia setengah dewa, bahka dewanya sendiri. Mitos seolah-olah narasi yang sudah tidak membumi lagi, tetapi melangit. Artinya, mitos sudah memindahkan panggung peristiwanya ke bukan alam manusia. Namun, mitos-mitos itu masih sering dipandang mempunyai fungsinya dalam sejarah manusia. Jika legenda telah sepi memberikan informasi sejarah, maka mitos sering dipakai untuk menceritakan sejarah yang benar-benar sangat lampau, misalnya, sejarah periode Hindu-Budha meskipun ada penurunan kadar menuju legenda. Ada bentuk karya masa lampau yang berbentuk antara mitos dan legenda atau bentuk perpaduan. Bentuk tersebut dapat dimanfaatkan sebagi sumber sejarah.
     c. Dongeng
 Dongeng adalah narasi yang sering disisihkan dalam percaturan tradisi lisan yang terkait dengan penyusunan cerita sejarah. Dongeng bukan narasi yang diandalkan oleh sejarawan dalam penulisan sejarah. dongeng binatang (fabel) itu hanya narasi yang dibuat buat saja meskipun mungkin dididalamnya ada realitas sejarah dalam bentuk simbol atau sindiran.
   5. Komentar
 Kelisanan yang berversi-versi dan berlarian-varian menggambarkan banyaknya pendapat dan pandangan pada masyarakat terhadap legenda-legenda yang hidup pada masa tertentu. Ada dugaan bahwa pada masa itu terdapat banyak orang pintar yang memahami dan menafsirkan legenda-legenda setempat, yang akhirnya masyarakat kini mewariskan kemampuan orang-orang pintar masa lampau. Orang orang pintar sejenis itu banyak ditemukan di pedesaan sebagai penjaga gawang tradisi lisan atau legenda setempat.
C. Penulisan Dan Penerbitan Seri Tradisi Lisan
    Tradisi lisan atau cerita tutur dipakai De Graaf dan Pigeaud (1985:16). Sebagai salah satu sumber sejarah jawa, yaitu legenda legenda orang suci dan riwayat para wali dalam penulisan dalam penulisan semata jawa abad ke-15 dan 16. Bagi  orang barat ,cerita tutur yang berisi legenda legenda para wali sering tidak dipandang sama sekali karena banyak mengandung cerita cerita yang berbau supranatural atau peristiwa peristiwa ajaib yang dianggapnya  tidak masuk akal. Namun kedua ahli Belanda memandang ada unsur yang tidak dapat diabaikan. Yaitu adanya golongan orang menengah yang terlibat dalam peristiwa sejarah abad ke-15 dan 16 . Mereka adalah golongan yang beragama islam dan berdarah campuran yang dari situlah para wali berasal.
   Pada tahun 1993 dibentuk Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) yang menerbitkan Seri Tradisi Lisan Nusantara, seperti Rebab Pesisir Selatan: Zam Sam dan Marlaini (Suryadi, 1993 a), Dendang Pauh: Cerita Orang Lubuk Siskamling (Suryadi, 1993 b), Struktur Sastra Lisan Kerinci (Esten, 1993), Rehab Pesisir Selatan: Malin Kundang (Udin, 1993), Pantun Kentrung ( Sadi Hutomo,1993), Dibelikan Kalo akan Tampilannya (Arief & Hakim, 1993). Penerbitan seri tradisi lisan tersebut akan memperkaya pengetahuan legenda-legenda lokal atau yang bertalian dengan etnis tertentu bagi sejarawan, khususnya sejarawan lokal yang menggarap sejarah lokalnya masing masing. Paling ttidak tradisi lisan tersebut dapat dimanfaatkan untuk menulis sejarah intelektual, sejarah mentalitas, dan sejarah ide ide.
Kesimpulan
Tradisi lisan merupakan cerita rakyat yang diungkapkan melalui lisan dan dikembangkan secara beruntun yang juga melalui lisan. Tradisi lisan disebut juga dengan tradisi tutur atau cerita tutur dalam kepentingannya untuk merekonstruksi sejarah yang sudah lampau atau agak lampau sering dipakai untuk mengisi kekosongan sumber sejarah yang berasal dari dokumen atau sumber sejarah lisan. Meskipun yang sifatnya fifty fifty karena diceritakan melalui lisan dari pelisan yang tidak terikat dengan peristiwa masa hidupnya tidak sezaman, dan pelisan bukan penyaksi dan bukan peserta dalam peristiwa sehingga tidak bertanggung jawab atas kebenaran dari pernyataan yang dikisahkan Namun demikian dalam penelitian sejarah, tradisi lisan tetap digunakan sebagai sumber sumber data oleh para sejarawan.
 
Daftar Pustaka
Priyadi, Sugeng. 2017. Sejarah Lisan. Yogyakarta: Ombak.
Kuntowijoyo. 1993. Metodologi Sejarah Edisi Ke Dua. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Gazalba, Sidi.1996. Pengantar Sedjarah Sebagai Ilmu.Djakarta: Bharata.
Rahman, Abd & Madjid, Shaleh. 2011. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Ombak.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eksploitasi Hutan Jati Blora Oleh Hindia Belanda di Awal Abad 20

Awal Pendirian PCNU Blora Sebagai Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama Pertama di Indonesia Tahun 1927