Eksploitasi Hutan Jati Blora Oleh Hindia Belanda di Awal Abad 20

Oleh: Edy Saputra

 Blora merupakan salah satu kabupeten di Jawa Tengah yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari hamparan hutan jati yang berkualitas tinggi. Tipe tanah di wilayah blora merupakan tanah kering, tandus, serta berkapur. Hanya tersedia sedikit lahan subur yaitu di wilayah Blora selatan, sekitar sungai Bengawan Solo meliputi kecamatan Menden (Kradenan), Randublatung, dan Kedungtuban. Potensi hutan yang melimpah seharusnya bisa dijadikan komoditas pengganti bagi mayoritas penduduknya yang memang  bermatapencaharian sebagai petani. Namun hal yang demikian hanyalah isapan jempol belaka. Karena hasil hutan hanya dimanfaatkan oleh VOC (Verenidge Oost Indische Compagnie) dan pemerintah Hindia Belanda, sedangkan masyarakat Blora tetap dibawah belenggu garis kemiskinan. Petani hanya mengerjakan lahan pertanian yang tandus, sementara para pekerja wajib blandong (kegiatan eksploitasi penebangan dan pengangkutan kayu) hanya buruh kasar dengan gaji kecil. 

 Eksploitasi hutan jati di Jawa sudah berlangsung lama. Penebangan kayu jati secara terbatas sudah dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar maupun oleh para penguasa tradisional. Baru pada abad ke-18, ketika VOC mempunyai pengaruh di Jawa, hutan jati mulai ditebang secara sistematis untuk membangun sarana-prasarana seperti benteng, gudang, jembatan dan lain-lain, serta dijadikan komoditas yang laku dijual. Pada abad ke-19, perhatian pemerintah kolonial terhadap hutan jati sebagai sumber daya alam yang penting dan strategis semakin meningkat. Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda memandang perlu untuk mengatur dan mengawasi penebangan hutan jati yang semula menjadi milik komunal diubah menjadi milik atau dikuasai Negara. Masuknya paham domein dalam penguasaan sumber daya hutan menjadi titik awal perubahan fungsi hutan jati secara signifikan. Fungsi-fungsi sosial ekonomi dan kultural yang membentuk ekosistem hutan jati secara perlahan mulai berubah. Sebagai aset ekonomi, hutan jati mulai dimaknai menjadi sekedar sebagai sumber daya ekonomi yang memberi keuntungan pihak tertentu dan menghilangkan aspek-aspek lainnya yang berkaitan dengan hutan jati. 

 Hutan jati sesungguhnya mempunyai nilai strategis bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan, terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kayu jati dimanfaatkan seagai salah satu bahan membangun rumah, alat-alat pertanian, bahan bakar, dan keperluan lainnya. Penduduk juga memanfaatkan lahan hutan untuk memproduksi bahan makanan yang tidak bisa dipetik atau ditemukan langsung di hutan. Kawasan hutan juga dimanfaatkan untuk menggembala ternak. Secara alamiah, hutan telah menyediakan berbagai keperluan yang mampu menopang kehidupan penduduk yang tinggal di sekitarnya, seperti sayuran, buah-buahan, binatang buruan, obat-obatan, dan lain-lain. Fungsi hutan seperti ini dapat berlangsung ketika ekosistem hutan masih menunjukkan keseimbangannya. Namun, dengan adanya penebangan hutan jati secara massif yang diikuti terjadinya degradasi hutan, fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat sekitar juga mulai berubah.


Eksploitasi Oleh Pihak Belanda

 Pada saat pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Jawa dan melakukan eksploitasi terhadap hutan jati. Pemerintah menetapkan jumlah permintaan terhadap hutan-hutan jati dengan jumlah yang sangat tinggi. Dari hutan-hutan yang ada di Rembang harus menyerahkan 3000 balok-balok besar untuk galangan kapal setiap tahunnya. Tiap tahun di beberapa tempat sebuah persil hutan ditebang dan selanjutnya di bekas tebangan ditaburkan biji-biji jati. Pada tiap tebangan dikepalai oleh seorang bumiputera yang diberi nama Demang-blandong, ditambah beberapa penjaga hutan yang dibantu dengan sinder Eropa. Di tiap tempat penebangan bekerja 100-300 penebang dan 300-400 pasang sapi. Pada setiap central houtstapelplaats (tempat Penimbunan Kayu/TPK) dikepalai oleh seorang mantri yang diwaktu hujan ditugaskan untuk mengawasi pembuatan rakit-rakit. Para pekerja mendapat upah yang kecil. Dalam bulan Desember dimulai dengan merakit kayu-kayu yang melewati sungai Bengawan Solo dan anak-anak sungainya. Kayu-kayu tersebut diangkut menuju TPK terbesar di Jawa yaitu di Bunga, Karesidenan Surabaya. (Coordes. 1992:269-274).

 Pada tahun 1901 Pemerintah menetapkan untuk melakukan eksploitasi di wilayah Kradenan Utara houtvesterij dan Wirosari sebelah barat laut. Hal itu dilakukan karena wilayah hutan di daerah ini memiliki potensi kayu yang sangat tinggi. Pemerintah akan melakukan eksploitasi baik menggunakan manajemen sendiri ataupun dengan cara jual saham kepada pihak swasta. (De Locomotief, 26 Pebruari 1901).

 Wilayah Blora pada afdeeling waktu itu terbagi atas 10 houtvesterij. Wilayah tersebut yaitu antara lain: sebagian wilayah Kedung Jati, sebagian wilayah Telawah, sebagian wilayah Gundih, sebagian wilayah Purwodadi, seluruh kawasan daerah hutan Blora, sebagian daerah Mantingan, sebagian besar wilayah daerah Tjepu, seluruh daerah Randoeblatoeng Utara, seluruh daerah Randoeblatoeng Selatan dan sebagian besar wilayah Kebonharjo.(Darajati, 2001: 22).

Metode Eksploitasi Kayu Jati

 Memasuki tahun-tahun pertama awal abad ke-20 mulai muncul keluhan adanya kesulitan pengangkutan kayu tebangan dengan menggunakan gerobak atau tenaga hewan karena beberapa alasan. Pertama, pengerasan jalan untuk mengangkut kayu sangat mahal biayanya dan tidak efisien. Kondisi jalan yang masih berlumpur, berkelok-kelok, membutuhkan biaya besar untuk mengeraskannya. Butuh tenaga kerja yang banyak untuk pengerasan jalan di seluruh kawasan hutan jati. Di samping itu, sebagian besar tenaga petani telah habis untuk kerja menebang dan mengangkut kayu. Kedua, adanya ketidakpastian mengenai kemungkinan pengangkutan kayu dilakukan tepat waktu. Jalan rusak dan tiadanya kesiapan alat-alat angkut seperti gerobak dan hewan penarik dapat mengganggu kelancaran pengangkutan kayu. Akibatnya, kayu tebangan menumpuk di hutan karena tidak segera terangkut sehingga menurunkan kualitas kayu. Ketiga, datangnya musim hujan menambah kesulitan mengangkut kayu karena jalan-jalan semakin buruk keadaannya. Selain itu, banyak ternak yang mati akibat merebaknya wabah penyakit hewan yang menular. Hal ini sangat merugikan pihak penyewa angkutan gerobak karena mereka sudah memberikan uang muka kepada pemiliknya. Dengan alasan seperti ini, Masalah pengangkutan dari tempat produksi ke tempat pemakaian merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan. Sebelum mengenal alat transportasi darat, pada zaman dahulu orang mengangkut barang melalui jalur transportasi sungai ataupun laut. Setelah kayu terkumpul lalu diangkut ke TTKP. Dari TPK menuju sungai, pengangkutan dilakukan oleh tenaga ternak. Setelah itu kayu jati dihanyutkan melalui Sungai Bengawan Solo sebagai sarana transportasi menuju daerah pantai utara (Gresik) dan pelabuhan Bunga dikaresidenan Surabaya. (Soepardi, 1960:70). Baru kemudian untuk menyingkat waktu dan memperbesar kapasitas pengangkutan, orang mulai membangun jalan rel hutan. Lori pada mulanya didorong oleh tenaga manusia kemudian baru tenaga lokomotif diperkenalkan.

 Jalan rel pertama dibangun dihoutvesterij Kradenan Utara pada tahun 1901 dan 1902. Pembangunan itu diborong oleh orang Cina, Teng A Bui dengan biaya f 450 per km. (Tim Penyusun Sejarah Kehutanan Indonesia, 1986: 148). Lebar rel yang dilalui kereta yaitu 1,067 m. Satu keuntungan yang pasti ialah persamaan dengan lebar normal jalan kereta api di seluruh Jawa yaitu 1,067 m. Kemudian baru pada tahun 1928 Pemerintah Hindia Belanda  mendatangkan kereta Berliner Maschinenbau NR 9409 buatan Jerman sebagai alat transportasi khusus mengangkut kayu jati dari pedalaman hutan Blora menuju TPK-TPK yang ada di Blora. Jalan rel menghubungkan tempat-tempat pedalaman Blora menuju stasiun Tjepu sehingga memudahkan Pemerintah Hindia Belanda untuk distributor kayu ke beberapa daerah tujuan di Nusantara.

Pengangkutan Kayu Menggunakan Kereta Api

 Rencana pembangunan rel kereta api yang menghubungkan beberapa kota kabupaten dan distrik dengan kota-kota lainnya di luar Rembang telah diusulkan sebelum abad ke-20. Hal ini tampak pada jadwal rencana pembangunan rel kereta api selama 1886-1908 yang dilakukan oleh perusahaan swasta Belanda. Perusahaan swasta Semarang-Joana-Stoomtremmaatschappij (SJS), berdiri pada 1881, telah berhasil membuka jalur utama yakni mulai dari kota Semarang-Demak-Kudus-Joana-Rembang-Lasem, sepanjang 136 kilometer, jalur  kereta api Demak-Purwadadi-Wirasari-Blora, sepanjang 104 kilometer. Jalur cabang (zijlijnen) yaitu Rembang-Blora-Cepu, sepanjang 60 Km. Jalur ini sangat vital dalam mendukung eksploitasi hutan jati di wilayah pantai utara, khususnya Rembang dan sekitarnya. Namun, karena pertimbangan biaya yang mahal, rencana pembangunan rel kereta di pedalaman Rembang belum berhasil dilaksanakan. Untuk mengoperasionalisasikan kereta api dibutuhkan bahan bakar yang tidak sedikit. Misalnya, pada tahun 1900, SJS yang menguasai jalur kereta sepanjang 378 kilometer, membutuhkan bahan bakar batu bara sebanyak 1.158 ton, kayu 7.703 ton, dan minyak 108 meter kibik.

 Pada awal abad ke-20, yaitu ketika Blora di pimpin oleh bupati RMT. Tjakranegara lll jaringan kereta api di Jawa terus bertambah. Pada tahun 1912, misalnya, jalur kereta api yang melintas di wilayah Rembang mencakup jalur Juana-Rembang-Lasem di pantai utara. lalu jalur Rembang-Blora-Padangan dan bertemu dengan jalur Wirosari-Blora dan Kradenan-Randublatung-Padangan-Bojonegoro-Babad-Surabaya. Baru pada tahun 1915 direncanakan membuka jalur baru Lasem-Pamotan-Jatirogo-Bojonegoro, jalur Jenu-Tuban-Babad, dan jalur Ngidon-Merengek-Ponco. Sementara itu, di wilayah selatan bengawan tidak dibuka jalur kereta api  dalam hal ini dikarenakan masih mengandalkan transportasi air yang relatif murah melalui Bengawan Solo.

Simpulan

 Pada akhirnya Blora merupakan daerah yang penting bagi perekonomian pemerintah Hindia Belanda, Dalam hal ini terutama karena Blora memiliki potensi kayu jati yang tinggi dengan kualitas yang bagus. Dalam memenuhi kebutuhan kayu diutamakan diambil dari hutan-hutan di Rembang, sedangkan pada tahun 1760 hutan di Rembang sudah sangat rawan sehingga pengambilan kayu dilakukan memasuki pedalaman hutan-hutan jati di Blora. Luasnya hutan jati di Blora membuat pemerintah Hindia Belanda mencari cara agar hasil hutan tidak menumpuk dan merusak kualitas kayu jati. Kemudian kereta menjadi pilihan untuk menjawab permasalahan tersebut. Kereta ini sangat membantu mobilisasi perekonomian Hindia Belanda karena menggunakan kereta, selain dapat memuat kapasitas kayu dalam jumlah besar, juga dapat memanfaatkan waktu dengan efektif. Kereta ini dapat menembus pedalaman hutan-hutan jati di Blora menuju TPK-TPK untuk kemudian dikirim ke Stasiun Tjepu dan didistribusikan ke berbagai wilayah di Nusantara.


Daftar Pustaka

Muhammadun, Dalhar. 2004. Tanah Berdarah Di Bumi Merdeka. Solo:ATMA.

Warto. 2017. Sejarah Pengangkutan Kayu Jati di Jawa Pada Abad ke-19 dan Awal Abad ke-20. SASDAYA, Gadjah Mada Journal Of Humanities.1(2). 185-186.

Nur Kholifal, Ika, Gayung Kusuma. 2018. Pengelolaan Hutan Jati di Blora (1897-1942). Kesejarahan, 13(2). 4-5.

Nurjaya, Nyoman. 2005. Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia. Juriprudence. 2(1). 7-8.



Komentar

Posting Komentar